Senin, 06 April 2009

john,oh john.....

ya ampun,,one of my dreams come true...
aq kemaren bisa ketemu majohn martin tumbel,, norak ya?? biarin......hahaha,,
orangnya ramah,n baek ya,,apalagi imut2 gituh,,imut2 gituh, dulunya arjuna pajak loh,,

ya ampun,kak john,, gag nyangka,gag dinyana,bisaaaaa aj ketemu,, hehehe


benernya,masih pengen ngobrollama..tapi kayanya waktu itu kak john buru2,, yawdhlah,lain waktu......

Label:

Jumat, 30 Januari 2009

wah,,,,, pengennnnnn

WOI,, TAHHUKAH ANDA...MANCHESTER UNITED MAU KE JAKARTA, 24 JULI 2009.. MEREKA BAKAL TANDING MA INDONESIA SUPER LEAGUE DI GBK....WADUWWWWWWWW.............VAN DER SAAR KU...
I HOPE I CAN MEET YOU SOON........
T_T

Selasa, 13 Januari 2009

Banyu Biru

Banyu biru…………
Membuatku terpaku
tertegun dengan pesona keangkuhan banyu biru
Atas ketegasan dan keotoriteranmu
Tempat dimana kau memproses asa – asamu

Banyu biru………………..
Kan selalu menjadi impianmu
Kan hilang dan lepas dalam angan – anganku
Tetapi aku harus rela menghantarkanmu
Karena memang disanalah tempatmu
Aku harus merelakan tawamu
menghiasi tiap belahan sudut ruangan banyu biru………….

Banyu biru……………
Tempat yang memisahkan kita
Demi pembelaanmu terhadap sang Saka Dwi Warna
Dan demi kecintaanmu pada tanahmu

Banyu biru………Jadilah saksi bisu jiwanya
Percayalah, suatu saat aku `kan kembali
Walau hanya sekejap rasakan kilaumu
Hanya bernostalgia dengan cintamu.......................

Kidung Nyanyian Bidadari

Menatap malu – malu bulan merah jambu
Mencoba sibakkan tirai yang selama ini tertutup
Tirai yang lambangkan sebait kesucian diri
Putih terlena dalam kidung nyanyian bidadari
Namun asaku telah jauh berlalu
Hinggap di torehan awan dengan berkas jingga
Tak tahu kemana harus luapkan pesona
Pesona keindahan yang tak terukur

Dalam kidung nyanyian bidadari
Aku terlelap..................................

Kamis, 08 Januari 2009

Representasi Gender, Etnik, dan Seksualitas dalam media penyiaran

Gender secara harafiah dapat diartikan sebagai jenis kelamin baik itu laki – laki maupun perempuan. Namun, hal itu hanya bias diiyakan pada saat manusia itu lahir ke dunia. Jenis kelamin dari lahir yang dibawanya itulah yang dinamakan dengan gender. Dan ketika manusia tersebut tumbuh dewasa dan berkembang, arti mengenai gender itu sendiri terkadang menimbulkan bias. Dalam perjalannya, wanita lebih dianggap sebagai kanca wingking dan kedudukannya hanya dipandang lebih rendah daripada kaum pria. Masyarakat Indonesia sendiri menganggap tugas wanita hanya 3M : macak, manak, masak, yang sangat menjatuhkan dan menyudutkan kaum wanita.[1]
Seiring dengan berjalannya waktu dan berkat adanya emansipasi wanita serta adanya ajaran mengenai Yin and yang, terdapat kesetaraan gender antara pria dan wanita. Mulai timbul gerakan – gerakan yang memperjuangklan kesetaraan gender antara pria dan wanita. Wanita menginginkan posisi/peranan yang sama dengan pria. Tidak jarang kita temui, wanita kini banyak yang juga melakukan pekerjaan – pekerjaan yang dipandang berat dan biasanya dahulu hanya dilakukan oleh kaum pria. Pekerjaan tersebut misalnya adalah tukang parkir, supir kendaraan, tukang bangunan, dan bahkan kernet angkutan umum. Namun, tidak jarang pula banyak wanita yang menembus dunia pemerintahan, dan bahkan menjadi presiden, seperti mantan presiden wanita RI pertama kita, Megawati Soekarnoputri.
Emansipasi wanita, seperti yang kita ketahui menginginkan adanya kehormatan terhadap wanita, kedudukan tinggi bagi wanita, dan penghargaan bagi wanita. Akan tetapi, ada beberapa pihak yang masih menggunakan wanita, khususnya, sebagai bahan tontonan, eksploitasi tubuh, dan hanya digunakan sebagai daya tarik tersendiri. Banyan wanita yang dijadikan sebagai objek kekerasan seksual dan seringkali digambarkan sebagai objek yang lemah, tertindas, dan selalu bergantung kepada laki – laki. Dan secara tidak sadar hal itu menjudge kaum hawa sebagai symbol seks, pemicu gairah, dan terkadang wanita hanya dipandang atas apa yang tampak secara fisik pada dirinya.
Dari 12 rekomendasi Deklarasi Beijing, satu di antaranya mengenai perempuan dan media yang mendorong penggambaran perempuan yang seimbang dan non-stereotipikal di media. Organisasi-organisasi profesi media pun memiliki kebijakan yang senafas. Namun dalam kenyataannya, representasi media atas perempuan sering menampilkan perempuan sebagai makhluk fisik belaka, bukan sebagai manusia. Isu representasi perempuan dalam media merupakan salah satu dari dua isu penting yang terkait dengan media dan gender.[2] Tentang bagaimana pandangan terhadap bagaimana seorang perempuan bisa dimaknai atau istilah lainnya budaya gender sesungguhnya merupakan konstruksi sosial yang digenderkan.[3] Budaya gender dengan demikian merupakan relasi identitas, peran dan struktur yang membingkainya. Jika yang membingkai dalam industri media adalah budaya patriarki maka perempuan ditempatkan pada posisi yang minoritas. Sedangkan jika budaya yang membingkai industri media adalah budaya matriarki maka perempuan berada pada posisi yang dominan.
Dauglas Kelner, dalam bukunya Media Culture : Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern (1996), memberikan elaborasi bahwa budaya media menunjuk pada suatu keadaan dimana tampilan audio dan visual atau tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang.[4]
Maka dari itulah, kehadiran media melahirkan berbagai persoalan dan salah satunya berpengaruh besar terhadap adanya discourse mengenai permasalahan mengenai gnder, seksualitas, dan etnik yang seringkali ditampilkan secara tidak berimbang di dalam suatu media.

Pendeskriminasian Gender dalam Acara dan Program – program di Televis
Di era ini, televisi tidak lagi hanya menyediakan berbagi hiburan a informasi yang inovatif, namun juga dijadikan sebagai sebuah alat yang digunakan untuk mempersuasi khalayak. Ratusan tayangan yang disuguhkan oleh televisi memang memberikan warna tersendiri bagi para audiensnya. Namun, disamping berjuta kenikmatan dan berjuta hiburan yang disuguhkan, televise ternyata memang layak disebut sebagai `setan bermata satu`, karena televisi tidak jarang menyuguhkan acara yang mengeksploitasi kaum wanita.
Berbicara mengenai eksploitasi wanita, tentunya dapat dikaitkan dengan iklan yang ada di layar televisi. Iklan – iklan yang ada di televise seringkali mendiskreditkan wanita. Misalnya saja iklan – iklan sabun. Iklan sabun sebagian besar (baca : semua) bintang iklannya adalah para wanita yang berkulit putih, berambt lurus dan panjang, tinggi semampai, dan cantik. Di dalam adegan iklan tersebut digambarkan wanita yang sedang mandi dan menggunakan sabun tersebut, setelah selesai mandi kemudian menggunakan handuk setengah terbuka, dan menunjukkan bagian dari bahunya seraya memamerkan kulit putihnya sebagai akibat dia telah menggunakan sabun tersebut.
Atau lain halnya dengan iklan operator seluler yang identik dengan animal iotu juga menggunakan wanita sebagai objek yang digunakan untuk menarik pelanggan. Satu lagi, misalnya iklan permen penyegar mulut. Iklan tersebut hamper semua mengisahkan antara sepasang kekasih yang sedang bertengkar dan kahirnya marahan. Sang lelaki yang bingung untuk minta maaf, akhirya memberikan bunga, namun sang wanita membuang bunga tersebut. Namun akhirnya sang pria menemukan solusi untuk mengatasinya yaitu dengan memakan permen tersebut. Dengan aji - aji hembusan nafas ke arah sang pacar, maka sang pacar pun hatinya luluh dan mereka akhirnya baikan kembali.
Iklan – iklan semacam ini secara tidak sadar adalah menggunakan wanita sebagai objek. Dalam iklan sabun, seolah bintang iklan tersebut dijadikan ukuran untuk menentukan takaran kecantikan seseorang. Bahkan, iklan tersebut seringkali disisipkan pendapat lelaki (yang tentunya hal ini sudah diatur sebelumnya) tentang wanita cantik menurut cara pandang dia sendiri. Iklan – iklan semacam ini tentu saja menimbulkan stereotype masyarakat, baik pria maupun wanita, mengenai definisi cantik itu sendiri. Tak jarang kini, seringkali kita jumpai definisi cantik seorang wanita itu adalah putih, bersih, tinggi, dan bermabut panjang dan lurus. Bahkan, kini kaum hawa juga berlomba – lomba mempercantik diri, dengan memutihkan badan (sekalipun terkadang itu tidak sehat). Atau bahkan yang lebih parah adalah diet ketat dengan mengurangi makan, danakhirnya terjangkit penyakit bulimia.
Iklan – iklan seperti di atas makin didukung dengan adanya penayangan kontes kecantikan seperti Miss World dan Miss Indonesia. Bagi saya, seolah dua acara tersebut mendukung sebuah `common sense` yang salah.. stereotie yang terbentuk pada masyarakat semakin kuat karena tayangan tersebut. Acara tersebut seolah hanya dapat diikuti oleh wanita yang telah memenuhi `kriteri`, yang sesuai dengan pendeskripsian makna kecantikan oleh masyarakat luas. Dengan mengatasnamakan brain, beauty, and behaviour acara tersebut berhasil melahirkan pemenang yang dianggap telah mewakili wanita Indonesia seutuhnya.
Di samping itu, wanita dalam iklan juga dipandang dapat menaikkan syahwat kaum hawa. Dari ketiga iklan di atas, terjadi eksploitasi terhadap tubuh wanita. Dalam iklan sabun, bintang iklan tersebut seolah `hanya` menjual kemolekan dan mulusnya kulit yang dia punya tanpa menampilkan unsure – unsure lain yang dimilikinya seperti mungkin brain and behaviour. Iklan provider operator seluler tersebut juga menggunakan wanita sebagai penarik pelanggan, wanita tersebut rata – rata sealu memakai baju oranye, cantik, tinggi, putih, dan langsing. Dan jug acaranya dia berkata di depan kamera selalu membuat degup jantung kaum adam berdetak lebih kencang. Iklan yang ketiga adalah iklan permen penyegar tenggorokan. Adegan dalam iklan tersebut seolah menggambarkan wanita sebagai orang yang gampang dirujuk kembali, gampang marah, namun gampang ditaklukkan kembali.
Berbeda degan iklan, ternyata sinetron – sinetron juga menyughkan persoalan yang berbeda mengenai wanita. Sinetron – sinetron yang ada di televisi, yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan itu, sebagian besar bercerita menegani maslah percintaan yang diputar – putarkan tak karuan dan bintang utama sinetron tersebut adalah (lagi – lagi) wanita. Sinetron – sinetron tersebut menampilkan wanita sebagai sosok yang lemah, dilihat dari tingkah laku, peran yang dibawakan, maupun tingkah lakunya. Tidak jarang juga menampilkan rintihan, tangisan buaya, dan juga rasa yang sangat bergantung dengan kaum adam. Lebih dari itu, pemeran wanita utamanya seolah seerti mannequin berjalan karena dia mau saja menggunakan busana – busana yang telah dititipkan oleh iklan. Sinetron mungkin juga dianggap sebagai catwalk yang dilihat melalui televisi. Sebagai contoh sinetron – sinetron yang diperankan oleh Naysilla Mirdad, semuanya bergenre mellow, mirip erangan anak kucing di pinggir alan yang haus. Sinetron yang dibintanginya, dari mulai Cahaya, Intan, dan kini Lia selalu tak masuk akal, saduran, dan hanya berisi tangisan, rintihan wanita, dan gambaran seorang perempuan yang tertindas. Tak terima dengan keadaan, tak bias emperjuangkan cintanya namun juga tak bisa apa – apa. Hal ini seolah menjadi bukti, betapa wanita digambarkan oleh media secara sempit.
Hal lain yang dapat dipetik adalah ketika wanita dijadikan objek dalam penciptaan sebuah lagu. Berbagai macam grup band seringkali menciptakan lagu yang menggambarkan perselingkuhan yang dilakukan oleh pihak wanita, atau lain lagi mengenai kecantikan yang sempurna pada seorang wanita. Wanita selalu diibaratkan sebagai penggoda, perebut suami orang lain, dan juga tukang selingkuh. Dalam film – film tersebut wanita lebih sering digambarkan sebagai sosok yang lemah dan sekali lagi, tak bisa berbuat apa – apa. Wanita digambarkan memilki kecenderungan kuat untuk bergantung kepada laki – laki. Sedangkan laki – laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, system pembagian kerja, dan lain – lain.[5]

Lain halnya dengan masalah transgender yang telah dilakukan oleh sebagian orang. Homo, lesbi, seringkali ditempatkan secara semena- mena di dalam dunia pertelevisian. Tidak jarang kaum banci yang dianggap sebagai minorotas kerapkali dijadikan bahan bulan – bulanan, bahan ejekan, dan seringkali dilebih – lebihkan. Kaum homo dan lesbi yang bagi masyarakat Indonesia dianggap tabu seolah menyisakan permasalahan bagi rakyat kita untuk menempatkan mereka ke dalam posisi yang lebih baik.

Di samping itu, persoalan mengenai transgender merupakan persoalan yang tidak terlalu banyak diperbincangkan di Indonesia. Di Indonesia sepertinya kurang bisa welcome terhadap jenis kelamins elain laki – laki dan perempuan. Namun, di Negara – Negara lain, seperti di Jepang, Thailand, Korea, dan China. Permasalahan Transgender nampaknya bukanlah suatu hal yang mengherankan. Seringkali kita jumpai artis – artis cantik Korea yang dahulunya dalah kaum pria. Ingat kasus Nong Poy? Foto Nong Poy dapat dilihat dibawah ini:


Percayakah bahwa sebelumnya dia adalah seorang pria asli Thailand? Nong Poy terlahir sebagi seorang pria dengan nama Tracheeda Marnyaporn yang telah melakukan operasi total perubahan kelamin di Usianya yang ke-17 pada tahun 2002 hingga menjadi seperti sekarang. Dia bahkan berhasil memperoleh Gelar Miss Tiffany`s Universe tahun 2004 di usianya yang masih 19 tahun. [6]
Bahkan seorang pria yang kini telah berubah menjadi seorang wanita seperti Nong Poy pun, menggambarkan sosok wanita ideal menurut versinya dan menjalani operasi plastik mengubah dirinya menjadi ssesosok wanita ideal seperti impiannya itu.
Kini, bahkan ajang – ajang keputri – putrian bukan lagi hanya membidik segmen khusus wanita, namun juga kaum transgender. Ajang seperti MissLadyBoys dan Miss Tiffany`s Universe telah melahirkan sosok `wanita` ratu cantik yang berasal dari kalangan waria. Gambar kontes tersebut adalah sebagai berikut:

Perempuan `jadi – jadian` atau apalah sebutan yang pas untuk itu yang telah melakukan perubahan total secara fisik dari laki – laki menjadi perempuan secara kasarnya hanyalah melakukan perubahan `hardware` tetapi `software`nya masih secara laki – laki. Kaum – kaum transgender yang seringkali merasa dimarginalkan ini lebih memiliki tampilan fisik yang sempurna daripada wanita yang memang terlahir dengan wujud seorang wanita. Bahkah mereka sangat ingin diakui sebagai seorang wanita meskipun secara biologis mereka bukanlah sesosok wanita yang sempurna.
Merlyn Sopjan,[7] menulis suatu kalimat yang memposisikan betapa kaum – kaum transgender ingin diakui layaknya wsanita biasa :
Aku adalah perempuan,. Perempuan dalam jiwa. Ragaku laki – laki. Dan aku tetap merasa perempuan. Tak ada yang salah. Yang salah Cuma orang tidak melihatku lebih dalam. Mereka hanya melihat ragaku. Mereka hanya melihat yang terlihat. Mereka tak mau tahu lebih jauh. Aku adalah perempuan. Perempuan tanpa vagina.

PENGGAMBARAN REPRESENTASI SEKSUALITAS DAN ETNIS DALAM MEDIA PENYIARAN TELEVISI
Gagasan Foucault tentang “histerisasi tubuh perempuan”, menyatakan bahwa tubuh ini, menurutnya, bukan sekedar plat yang kemudian diatasnya dibentuk gender dan seksualitas. Dua unsur itu dimaterialkan menjadi tubuh.[8] Ditambah lagi dengan penjelasan Butler yang kemudian menegaskan bahwa gender dan seksualitas saling berkaitan dan saling overlap satu sama lain secara serius. Secara bersama-sama, gender dan seksualitas berinteraksi untuk menentukan isi dan batas maskulinitas dan feminitas, dan juga membentuk relasi gender dengan menetapkan kondisi dimana orang dengan beragam gender berinteraksi.
Representasi seksualitas terutama yang terjadi pada kaum wanita lebih digambarkan secara gamblang. Kaum wanita di media massa sering diidentikkan dengan kemolekan tubuhnya. Banyak artis yang menurut saya, hanya menjual kemolekan tubuhnya dengan mengatasnamakan tuntutan pekerjaan. Sebut saja Dewi Persik, dengan goyang gerjgajinya seolah membuat hidung para kaum adam kembang – kempis. Goyangannya seolah dapat menandingin Gempa Yogya yang berkekuatan 5,9 SR.
Belum lagi tayangan – tanyangan/ulasan mengenai olahraga seperti World Kick Off, One Stop Football, maupun Total football juga seringkali menggunakan wanita sebagai pembidik pasar yang rata – rata tontonan tersebut ditonton oleh kaum pria. Dengan modal kemolekan tubuh, kecantikan, dan kepadaian berbicara tanpa harus menguasai ilmu tentang dunia sepakbola, presenter acara tersebut sudah dapat menghibur dan menjual tontonan tersebut. Bahkan dalam acara World Kick Off seperti yang telah kita sebutkan tadi, dua presenter wanita yang ada dalam acara tersebut hanya bertugas untuk membuka acara, pajangan, dan memeriahkan suasana di dalam studio.
Para presenter acara olahraga tersebut menggunakan wardrobe yang syur, menggiurkan, saya sebagai wanita saja tertarik, lalu bagaimana dengan pria. Walaupun menggunakan pakaian olahraga, namun pakaian olahraga tersebut sangat ketat, celananya sangat pendek dan sangat sangat memperlihatkan lekuk tubuh. Atau lebih parahnya dandanan mereka tidak seperti membawakan acara olahraga namun seperti hendak ke Mall akrena menggunakan gaun yang berumbai – umbai yang bias kabur bila diterpa angin. Hal ini menunjukkan dalam acara olahraga semacam ini, wanita digambarkan sebagai sosok yang hanya menjadi penghias layar kaca, yang sebagian besar acara tersebut ditonton oleh kaum pria. Pihak media memanfaatkan karunia lahiriah yang dimiliki seorang wanita, seperti kemolekan dan kecantikan tubuhnya untuk mendongkrak/menaikkan nilai jual acara tersebut agar semakin banyak yang menonton.
Begitu juga dengan adean – adegan seronok yang dilakukan oleh wanita yang disebarluaskan di dunia maya. Bagi siapa saja yang mau tinggal klik dan download file tersebut. Dalam hal ini sebagian tubuh wanita juga dieksploitasi besar – besaran di dalam dunia maya. Teknologi internet telah menyediakan kemudahan luar biasa untuk menyebarluaskan apapun, termasuk pornografi.[9]
Tidak hanya media elektronik yang melakukan ketidakseimbangan dalam seks dan gender, namun hal tersebut juga terjadi pada medi amasaa cetak. Tubuh perempuan seringkali dijadikan tontonan oleh sebagian pihak. Sebagai contohnya, seperti telah diungkapkan di atas, kapitalismelah yang banayk memiliki andil daripadanya. Majalah – majalah dengan segmentasi pasar para lelaki sangat sering bahkan selalu menggunakan wanita sebagai cover depan majalah tersebut. Wanita yang menjadi cover tersebut didandani dengan pakaian yang sangat `mengundang` dan dengan pose yang menggiurkan. Seperti contohnya adalah pengeksploitasian tubuh ketika Andhara, Early, Fla Tofu menjadi cover majalah Playboy Indonesia beberapa waktu yang lau. Bahkan sempat juga Tyas Mirasih Indah yang menjadi sampul sebuah majalah lelaki dewasa, yang juga difoto syur. Hal ini dapat terjadi pula karena pada kenyataannya perempuan sendiri tersebar dalam berbagai kelas sosial, pengelompokan rasial dan etnis, komunitas seksual, subkultur, dan agama yang artinya tiap perempuan akan mengalami dan merasakan pengalaman sosial dan kesadaran personal yang berbeda pula.[10]
Wanita – wanita tersebut kini telah beralih pada paham posfeminis. Seperti dalam pandangan posmo, orang akan kehilangan narasi diri, terciptanya budaya konsumtiv yang tinggi, sehingga seseorang tersebut sulit untuk memunculkan karakter original dalam diri dikarenakan terbunuhnya potensi, kreativitas dan imajinasi.
Berbeda lagi tentang penggambaran wanita dalam etnis. Di etnis Dayak, wanita yang cantik adalah wanita yang daun telinganya paling panjang dan antingnya yang paling banyak dan besar. Di etnis Afrika, misalnya, wanita cantik itu adalah wanita yang memiliki tubuh yang gemuk. Di Amerika misalnya, diskriminasi terhadap etnis seringkali ditampilkan di film – film mereka, dimana pihakkaum negro, tak hanya wanita juga sering dijadikan bahan olokan. Bahkan ada kalimat percakapan actor film tersebut yang menyindir kehidupan kaum negro, kehidupan kaum yang rata – rata menghinggapi gang – gang sempit di jalanan.
Pendiskriminasian terhadap etnis, terkadang juga ditampilkan media secara terang – terangan, dalam sinetron misalnya. Beberapa cerita di dalam sinetron mengisahkan beberapa hal yang bersinggungan dengan permaslahan etnis. Misalnya digambarkan dalam sinetron tersebut, cerita mengenai etnis Tiong Hoa, etnis Batak, Etnis Jawa, Etnis Betawi, dan Etnis Madura.
Etnis China yang digambarkan dalam sinetron tersebut, dalam kehidupan sehari – harinya pasti memiliki anak, wanita, cantik. Bapak dari sang anak tersebut adalah seorang pemilik toko yang terkenal pelit dan susah memberi hutang atau pinjaman. Dandanan rambutnya selalu terlihat klimis, memakai kacamata, dan selalu memeang kalkulator. Si anak gadis tersebut kemudian jatuh cinta kepada si pemuda Jawa yang akhirnya tidak mendapat persetujuan dari ayahnya. Hal itu dikarenakan keluarga dari sang gadis yang dari etnis China/Tiong Hoa tidak suka dengan orang Jawa. Orang Jawa bagi mereka adalah pribadi yang malas, suka berbohong, dan terlalu bodoh. Atau terkadang penggambaran etnis orang Jawa dgmbarkan oleh bapak – bapak yang mendendangkan lagu – lagu Jawa sambil memberi makan binatang burung peliharaannya. Dia menggunakan sarung, kaos oblong, dan juga blangkon/tutup kepala khas Jawa.
Penggambaran lain misalnya, di dalam media, orang Batak selalau digambarkan bersuara lantang, berani, bermata sipit, dan galak. Atau lain lagi pada penggambaran orang yang berasal dari etnis Betawi dan Madura. Orang Betawi kebanyakan digambarkan menggunkan celana yang cingklang, menggantung, memakai sabuk yang besar, menggunakan pecis, dan juga membawa arit yang berukuran besar. Orang Betawi digambarkan sebagai orang yang berani, cablak, keras, dan nyolot.
Penggambaran berbagai karakter semacam itu setidaknya malah menimbulkan stigma bagi masyarakat. Masyarakat yang menontonnya pasti akan berpikiran sama denan apa yang dia lihat. Penggambaran ini sesuai dengan teori Kultivasi (Cultivation Theory) dimana masyarakat seolah percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh media. Teori ini memandang bahwa televisi menjadi media alau alat utama dimana para audiens atau penonton belajar tentang kultur dan masyarakat yang ada di sekeliling mereka.[11] Akibatnya adalah persepsi yang tumbuh di benak masyarakat adalah sama dengan penggambaran yang dilakukan oleh media.

BERBAGAI DAMPAK YANG DITIMBULKAN

Berbagai permasalahan timbul terkait permasalhan mengenai representasi gender, seksualitas, dan etnis di dalam media penyiaran khususnya media penyiaran televisi.
Sebagiamana di awal telah dijelaskan bahwasanya televisi memberikan pengaruh yang sangat besasr terhadap pendefinisian mengenai kaum wanita itu sendiri. Kaum wanita di tengah maraknya industri pertelevisian yang makin maju seiring dengan adanya globalisasi dan penguasaan modal oleh kapitalis posisinya makin susah dan serba salah.
Saat ini, gaya cara berpakaian seorang remaja wanita pun juag turut berubah menyesuaikan dengan persepsi yang dibangun oleh sebagian masyarakat melalui media. Mereka menggunakan busana yang tcenderung termakan oleh para kapitalis. Saat ini banyak sekali wanita yang telah terpengaruh oleh iming – iming tayangan yang ada di televisi, yang mana menyuguhkan wanita cantik, sexy mulus, langsing, mempengaruhi sendi –sendi kehidupan masa kini. Saat ini, banyak remaja putri yang lebih bangga menggunakan pakaian ketat yang menumbar kemolekan tubuh, mengumbar dada, paha dan perut., termakan oleh kapitalisme dan tayangan yang ditampilkan di televisi. Bahkan ada yang secara gamblang mengatakan gadis – gadis tersebut adalah `Media Iklan Kapitalisme Yang TIDAK DIBAYAR`.

Dalam hal ini, media yang merupakan penyumbang dampak terbesar terhdap pandangan masyarakat mengenai wanita, entah itu peranan, posisi, gender, dan seksualitasnya. Tayangan – tayangan yang menyudutkan kaum hawa baik dari sinetron, iklan., berita mengenai kekerasan terhadap perempuan seperti pemerkosaan, pencabulan dan lain sebagainya harus dihilangkan.
Media sudah sepatutnya memimpin opini publik untuk memandang peranan wanita sebagaimana mestinya seperti yang telah dicantumkan di piagam Deklarasi Beijing mengenai penggambaran wanita secara seimbang di media, tidak stereotipikal. Namun, perubahan tersebut juga harus diawali dari para kaum wanita itu sendiri, bagaimana mereka memperjuangkan kaumnya, memperjuangkan hak – haknya dan menepis semua stereotipikal yang diciptakan oleh media. Untuk itu, kini wanita Indonesia harus dapat memahami peranannya, meahami posisinya untuk apa dia diciptakan. Serta seluruh manusia Indonesia harus bangkit dari kekuasanan hegemoni globalisasi yang mengarah pada kapitalisme.
[1] http://bungkapit21.blogspot.com/2008/12/identitas-perempuan-dalam-kultur.html

[2] http://mahpur.blogspot.com/search/label/gender%20dan%20seksualitas

[3] Nugroho Notosusanto dalam http://kommpak.com/index.php/27/01/2007/media-gender-dan-konstruksi-budaya
[4] http://bungkapit21.blogspot.com/2008/12/identitas-perempuan-dalam-kultur.html

[5] Sugihastuti. Gender dan Inferioritas Perempuan. Hal 83
[6] http://aureliaclaresta.wordpress.com/category/tulisan-ringan/

[7] Putri Waria Indonesia 2006. Perempuan Tanpa V. Hal 49
[8] http://www.indoforum.org/blog.php?b=74
[9] http://www.geocities.com/sigitdjweb/cybersex_01.htm
[10] Ann Brooks. Posfeminisme & Cultural Studies
[11] Dedy Nur Hidayat. Pengantar Komuniaksi Massa. Hal 167

Selasa, 30 Desember 2008

Keberadaan Tarif Murah di Tengah Kondisi Masyarakat Indonesia

Keberadaan Tarif Murah di Tengah Kondisi Masyarakat Indonesia


The effects of technology do not occur at the level of
opinions or concepts, but alter sense ratios or patterns of
perception steadily and without any resistance. The serious
artist is the only person able to encounter technology with
impunity, just because he is an expert aware of the change in
sense perception.
(Mc Luhan, 1964: 18)



Sudah sewajarnya apabila perkembangan zaman diimbangi dengan perkembangan telekomunikasi. Teknologi komunikasi berkembang sebagai upaya manusia untuk mengisi pola-pola hubungan dalam setiap konfigurasi baru. [1] Zaman yang terus bergulir menuntut manusia untuk terus mendapatkan dan mengkonsumsi secara tepat dan akurat. Tidak mengherankan apabila saat ini, dengan menjamurnya pengguna telepon seluler, mendorong berbagai operator telepon seluler menerapkan beragam tarif. Persaingan tarif tersebut belum lama ini cukup menyita perhatian publik. Banyak operator seluler yang berlomba – loma menawarkan fasilitas berupa tarif semurah – murahnya. Penurunan tarif bisa jadi sebagai dampak atas dikeluarkannya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 12/ Per/M.KOMINF/02/2006 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Perubahan Jasa Teleponi Dasar Jaringan Bergerak Selular.[2]
Telepon seluler kini telah merambah ke berbagai lapisan kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa komunikasi tentunya tidak pernah lepas dalam kegiatan kita sehari – hari baik langsung maupun tidak langsung. Alat yang higienis ini memudahkan kita untuk bertransaksi informasi, menembus ruang, dan waktu. Saat ini, jarak tak lagi diartikan sebagai bentangan samudra puluhan mil atau bahkan ratusan kilometer antar benua. Kini, jarak itu sama dengan pulsa. Dengan pulsa jarak itu menjadi nihil.[3]
Walaupun pada kenyataanya, penurunan tarif telepon seluler semakin mempermudah akses informasi, memudahkan transaksi, serta memperpendek jarak dan waktu, namun hal tersebut ternyata juga tak lepas dari berbagai persoalan. Baik disadari maupun tidak, kehadiran telepon seluler dengan tarif murahnya memberikan berbagai dampak baik positif maupun negatif.
Melalui penurunan tarif, masyarakat dibuat terlena. Dan kini akibatnya hampir seluruh lapisan masyarakat memahadewakan handphone. Benda itu seolah menjadi santapan wajib mereka sehari – hari. Masyarakat terlena dengan tawaran tarif yang begitu menggiurkan. Secara sederhananya, dengan modal sedikit mereka dapat membeli dan menembus batas ruang dan waktu. Saat ini pun, masyarakat Indonesia telah memasuki era masyarakat informasi, setelah sebelumnya mereka juga melalui tahapan masyarakat industri dan agraris. Dan tentunya peranan kapitalisme tidak bisa lepas di dalamnya.[4]
Dalam kelanjutannya, akibat tarif yang sangat murah tersebut, ada dampak negatif yang memberikan perubahan pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat mengalami gangguan pada interaksi sosial. Intensitas masyarakat untuk berinteraksi dengan orang lain menjadi berkurang. Bahkan saat ini dengan begitu gampangnya seorang ibu rumah tangga memesan bumbu masakan kepada seorang tukang sayur melalui Short Message Service (SMS) atau pesan singkat. Selain itu, nilai harga menghargai diantara satu orang dengan yang lain menjadi berkurang. Misalnya, bayangkan saja, seorang guru yang malam harinya mati – matian belajar untuk mengajar esok harinya, dan ketika mengajar, dirinya dikalahkan hanya dengan tarian jemari siswanya yang sibuk mengetik tuts handphone. Mengetik di bawah kolong meja demi menghabiskan bonus SMS yang masih tersisa. Oh, are u kiddin`me? Betapa mudahnya pengabdian dikalahkan dengan sebuah bonus. Betapa nilai – nilai histories dan cultural dapat tergurus oelh adanya kemajuan teknologi.
Tidak seperti ketika tarif menelepon masih mahal seperti dulu. Orang – orang yang kala itu sudah memiliki handphone akan menggunakan handphone itu untuk keperluan yang sangat perlu. Namun kini, seolah tarif dapat melanggar batas – batas privasi seseorang, dimana hanya dijadikan sebagai ajang pembentukan citra, penyamaran identitas diri, dan sebagainya. Tidak jarang kita temui teror aneh atau pengaku – akuan seseorang melalui handphone.
Lebih dari itu semua, karena ketermilikan telepon seluler sangatlah menjamur, maka acara-acara di televisi kita banyak yang melibatkan penggunaan telepon seluler. Seperti kuis yang dijawab dengan mengirimkan SMS. Atau yang lebih parah lagi adalah sebuah stasiun televisi swasta, menayangkan kuis yang nyata – nyata jawabannya ada di depan mata, semua orang sudah pasti tahu jawabannya. Dan lantas presenter berkata seperti ini,`Ayo – ayo tinggal ambil handphonenya, ketikA/B/C, langsung diacak, sapa tahu beruntung, bisa – bisa buat beli kambing, pulang kampung, atau beli motor baru…….`
Menurut saya, dalam acara itu pihak stasiun televisi tersebut mengunakan (maaf) orang – orang kecil sebagai alat yang digunakan untuk meraup keuntungan. Kata – kata kambing, pulang kampung, dan beli motor, menjadi tradisi orang kecil, yang notabene orang kecil disini adalah yang menggunakan handphone karena tergiur tarif murah dan karena handphone telah menjamur. Dan terkadang tanpa pikir panjang tergiur dengan iming – iming kuis di televisi. Pihak media jeli melihat peluang atas turunnya tarif dan kemudian membuat acara – acara semacam itu.
Namun, dampak positif sosial ekonomi yang dapat kita rasakan adalah silaturahmi tetap dapat berjalan dengan mudah. Tarif yang murah, mempermudah seseorang menyambung kisah persaudaraan maupun persahabatan tanpa harus was – was kehilangan uang lebih banyak untuk membeli pulsa. Tak hanya itu, turunnya tarif seolah menjadi angin segar bagi para penyedia jasa telekomunikasi dalam menginovasi produk mereka supaya tetap laris di pasaran dan memunculkan peminat baru.
Di samping itu, menurut International Telecommunication Union (ITU) kenaikan 1% infrastuktur telekomunikasi akan menaikkan pendapatan daerah 3%. [5] Hal ini menyebabkan pendapatan usaha masyarakat daerah mengalami peningkatan. Petani – petani daerah, di pelosok – pelosok pun, kini tak lagi kesulitan menawarkan hasil panennya. Penurunan tarif menyebabkan mereka bisa berkomunikasi dengan bebas dan mudah sehingga memudahkan mereka menerima pesanan.
Tidak hanya tarif telepon seluler yang mengalami penurunan, namun tarif telekomunikasi lain seperti internet, juga mengalami penurunan. Internet sudah sejatinya merupakan sebuah alat yang mempermudah kegiatan manusia sehari – harinya. Data Juni 2008 menunjukkan penurunan tarif internet sebesar 40 % sehingga menyebabkan adanya kenaikan penggunaan internet. Hal ini terbukti saat Indonesia berada di peringkat lima se-Asia pada Desember 2007 dalam hal penggunaan internet.[6]
Dalam perkembangannya, penurunan tarif internet juga berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kini, seperti halnya handphone, intensitas keakraban secara tatap muka satu orang dengan yang lain mengalami penurunan. Lagi – lagi dihadapkan pada masalah harga-menghargai yang merujuk pada pembentukan sikap individualistik seseorang. Di samping itu, bisnis rumah – rumah internet atau warung internet telah banyak menjamur di kota – kota besar dengan sasaran mahasiswa maupun para pekerja bisnis. Sebagai dampak positifnya, turunnya tarif internet telah membuka puluhan lapangan pekerjaan.
Akan tetapi, tentu saja, hal ini lama – kelamaan menuntut adanya perubahan zaman. Saat ini internet dapat dinikmati secara gratis dengan fasilitas wifi maupun hotspot dengan melalui notebook maupun laptop. Hal ini juga menuntut adanya perubahan diri dari masing – masing individu. Keinginan untuk berubah tersebut, tidak pernah direncanakan oleh seorang pengguna teknologi tersebut. Tidak jarang kita temui, orang – orang menghabiskan waktu di depan layar laptop mereka, duduk berlama – lama, berselancar di dunia maya selama berjam – jam. Tanpa tahu dan mempedulikan kejadian yang terjadi di sekeliling mereka, menjadi sebuah komunitas virtual.[7]
Terlepas dari itu semua, sebenarnya media juga berpengaruh terhadap difusi sebuah teknologi. Media dipandang punya kedudukan strategis untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Dengan begitu, media merupakan instrumen fungsi pragmatis dari pihak di luar media massa ataupun bagi pemilik media massa sendiri dalam menghadapi masyarakat.[8] Media harus dapat menggunakan Agenda Setting mereka untuk membentuk dan mengarahkan masyarakat agar tak terlalu memujakan teknologi, masyarakat harus dapat menetapkan porsinya sendiri dalam penggunaan teknologi. Jangan sampai masyarakat takluk dan diperintah oleh kemajuan telekomunikasi.

[1] Terarsip dalam http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/pengaruh-komunikasi-massa-terhadap-perubahan.pdf.
[2]http://postel.depkominfo.go.id/?mod=BRT0100&view=1&id=BRT070806071101&mn=BRT0100%7CCLDEPTKMF_BRT01

[3] Meminjam istilah teman saya, ketika kuliah Komunikasi Sosial, di siang yang panas.
[4] Terarsip dalam http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/pengaruh-komunikasi-massa-terhadap-perubahan.pdf.
[5] Harian Jogja 17 Desember 2008. hal 24
[6] terarsip dalam InternetWorldStats,www.internetworldstats.com
[7] Ana Nadhya Abrar. Teknologi Komunikasi Perspektif Ilmu Komunikasi. Hal 110
[8] http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/pengaruh-komunikasi-massa-terhadap-perubahan.pdf.

Selasa, 16 Desember 2008

luh

luh